Senin, 11 April 2011

Kekalahan Armada Ozawa

      Sebuah armada Jepang yang kuat pimpinan Laksamana Madya Jisaburo Ozawa tengah bergerak menuju Kepulauan Mariana dari pangkalan sementaranya di Tawi-tawi, pulau di lepas pantai timur laut Kalimantan yang termasuk dalam Kepulauan Sulu, Filipina. Armada ini diperintahkan ke utara karena Jepang telah mengendus bahwa serbuan AS terhadap Mariana pasti sgera terjadi. Pimpinan AL Jepang mengantisipasi akan terjadinya "pertempuran yang menentukan", karena dalam menginvasi Mariana, AS pun mengerahkan kekuatan lautnya secara penuh.
      Ikut bergabung dengan armada Ozawa adalah dua kapal tempur kembar terbesar dan terbaru Jepang, Yamato dan Musashi (68.000ton), yang sebelumnya disiapkan untuk berlayar ke perairan Biak di Papua, guna membantu posisi Jepang di sana yang digempur Jenderal Mac Arthur. Di dalam armada ini terdapat pula sembilan kapal induk, termasuk Taiho, yang merupakan kapal bendera armada ini. Kapal-kapal induk ini membawa 430 pesawat tempur. Selain itu ada beberapa kapal tempur lain, 13 penjelajah, dan 28 kapal perusak ikut dalam armada ini.
 Laksamana Jisaburo Ozawa


      Sekalipun demikian, dibalik kekuatan armada yang dahsyat itu, Laksamana Ozawa menyadari kekurangannya, terutama kekuatan udaranya. Jumlah pesawatnya kalah banyak dibanding yang dimiliki AS. Tetapi yang lebih mengkhawatirkannya adalah kemampuan para pilotnya, sebab para pilot veteran dan penuh pengalaman, sebagian besar telah gugur dalam berbagai pertempuran di Pasifik sebelumnya. Mayoritas pilotnya hanya menjalani latihan terbang selama dua-enam bulan saja, dan umumnya belum pernah punya pengalaman tempur. Ozawa yang berharap adanya bantuan dari kekuatan udara Jepang yang berpangkalan di daratan Mariana, tidak mengetahui bahwa bombardermen prapendaratan selama empat hari beruntun atas pulau-pulau yang jadi sasaran serbuan AS, telah menghancurkan sebagian besar pesawat Jepang di pangkalan mereka, baik di Guam, Tinian, maupun Saipan.

Kapal Induk Taiho 
      Berbagai kendala yang membayangi Ozawa ini diperburuk lagi dengan rusaknya peralatan komunikasi radio, serta terungkapnya tabir pergerakan armadanya ke utara. Ini karena waktu armada tersebut melintasi perairan Filipina pada malam hari 15-16 Juni, dua kapal selam AS yang sedang berpatroli memergokinya. Kapal selam segera melaporkan penemuan penting itu. Lakasamana Raymond Spruance yang memimpin Fifth Fleet, ketika itu tengah memasuki persiapan terakhir untuk pendaratan di Guam tanggal 18 Juni.
       Begitu memperoleh laporan mengenai bergeraknya armada Jepang ke utara, ia langsung mengubah rencananya. Mengetahui bahaya yang mengancam kapal-kapal transpornya yang masih penuh pasukan, ia pun memerintahkan mereka untuk segera merampungkan pembongkaran suplai maupun pasukan untuk Saipan selambatnya pada 17 Juni, dan selanjutnya agar cepat berlayar ke Timur untuk menghindari ancaman armada Jepang. Akibatnya, rencana pendaratan di Guam pada 18 Juni ditunda sampai keadaan mengizinkan lagi.
      Pada waktu bersamaan Laksamana Spruance juga memerintahkan armada kapal induk cepatnya untuk bergegas ke arah barat hingga perairan sekitar 280km barat dari Pulau Tinian, guna mencegat datangnya armada Jepang. Armada tersebut tergabung dalam Task Force 58 pimpinan Laksamana Marc Mitscher.
      Esok harinya, 18 Juni, pesawat pengintai dari armada Jepang menemukan kehadiran armada Mitscher, sehingga Ozawa memutuskan untuk menyerang. Kapal-kapal induknya menyiapkan pesawat tempur Mitsubishi A6M Zero yang dipersenjatai dengan bom, jenis senjata yang membuat pesawat pemburu ini agak berkurang kelincahannya. Pada 19 Juni pagi, 45 Zero sarat bermuatan bom dan delapan pesawat torpedo diluncurkan Jepang. Mereka dikawal oleh 16 pesawat Zero lainnya untuk menghadapi kemungkinan diserang pesawat AS.
      Tatkala kekuatan udara AL Jepang ini bertolak pada sekitar pukul 08.30, pihak AS belum mengetahui apa yang harus dilakukan pihak musuh. Namun sekitar satu setengah jam setelah pesawat Jepang mengudara, mereka tertangkap oleh radar kapal-kapal pemantau dari armada Mitscher. Jaraknya diperkirakan masih sekitar 240 km. Pada waktu bersamaan, pesawat tempur Grumman F6F hellcat yang berasal dari kapal induk tengah bertempur dengan pesawat Jepang di atas Guam. Di tengah dogfighting seru itu, tiba-tiba para pilot AS mendengar panggilan radio "Hey Rube!", Ini adalah kode panggilan dan tanpa buang waktu mereka pun meninggalkan ajang pertempuran di Guam dan kembali ke induknya guna bersiap menghadapi serangan udara Ozawa.
      Mitscher dengan cepat mengatur ke-15 kapal induknya untuk silih berganti mengoperasikan pesawatnya, sehingga tak pernah ada kekosongan pesawat di udara. Pesawat pun sibuk bergantian mendarat untuk mengisi bahan bakar lagi, sementara yang lain berpatroli, dan sebagian lainnya baru mengudara dari geladak kapal induk. Kewaspadaan terhadap akan datangnya serangan udara Jepang benar-benar tinggi.
      Selain mengirim pesawat untuk melindungi armadanya, Mitscher juga mengirim pengebom untuk menyerang pangkalan-pangkalan udara Jepang di Guam. Tujuannya merusak pangkalan dan landasan guna mencegah pesawat-pesawat Ozawa mendarat dan mengisi ulang bahan bakar di Guam yang masih dikuasai Jepang. Tanpa tambahan bahan bakar, dapat dipastikan pesawat-pesawat tersebut tidak mungkin kembali ke kapal induk mereka. Mereka akan kehabisan bahan bakar dan jatuh ke laut.
      Pukul 10.36 pagi itu, sekelompok Hellcat yang sedang berpatroli tempur, tiba-tiba melihat rombongan terdepan pesawat Jepang yang akan menyerang armada Mitscher. Dengan pekik Tallyho, merekapun langsung menukik menyergap pesawat musuh. Pertempuran udara sengitpun pecah.Hellcat yang dikenal sebagai salah satu pesawat tempur terbaik AL AS, dengan lincahnya menyambari rombongan pesawat penyerang Jepang. Pesawat Zero yang dikenal kelincahannya tak berdaya menghadapi pesawat baru AS ini. Apalagi sebagian besar Zero dimuati bom untuk menyerang kapal AS, sehingga kegesitannya agak berkurang.
      Satu persatu pesawat Jepang berhasil dirontokkan, sehingga pada akhir duel udara ini tak kurang 42 dari 69 pesawatyang dikirim Ozawa berceburan ke laut. Namun tekad para pilot Jepang tak mudah dipatahkan. Beberapa dari mereka berhasil menembus tabir perlindungan yang dibuat Hellcat, dan menyerang armada AS. Kapal tempur South Dakota terkena bom Jepang, mengakibatkan 27 awaknya tewas.Tetapi pesawat Ozawa yang tersisa itu tidak satu pun yang berhasil mencapai sasaran utama mereka, yaitu kapal-kapal induk AS.
      Mengetahui kegagalan serangan udara gelombang pertamanya, Lakasamana Ozawa segera mengirim penyerang gelombang kedua yang terdiri dari 128 pesawat, yang sebagian besar dipersenjatai khusus untuk menyerang kapal. Termasuk di dalamnya 53 pengebom tukik dan 27 pengebom torpedo. Armada Mitscher yang berhasil menggagalkan serangan Jepang gelombang pertama, semakin waspada karena yakin musuh bertekad menggagalkan pendaratan di Mariana dengan menghancurkan armada AS. Keyakinan ini sesuai dengan apa yang dikehendaki Tokyo, bahwa ini akan menjadi the decisive battle, pertempuran menentukan.

       Pertempuran udara di atas Laut Filipina yang difoto oleh prajurit AL AS

      Serangan inipun gagal membuyarkan pertahanan udara AS, yang tanpa henti terus mengudarakan pesawat tempurnya guna mencegat pesawat musuh. Dalam pertempuran udara di atas laut Filipina ini, lebih dari 70 pesawat Jepang ditembak jatuh sebelum mencapai daerah sasaran. Sejumlah pesawat Jepang dapat menerobos, bahkan mencapai perairan tempat kapal-kapal induk AS. Kapal induk Bunker Hill terkena bom dan menderita kerusakan ringan serta menewaskan ketiga awaknya. Tetapi hanya itu yang dapat dilakukan Jepang, sebab mereka yang lolos itu pun terus dikejar-kejar pesawat AS.

 Suasana pertempuran Laut Filipina

      Dua kali lagi Ozawa mencoba peruntungannya dengan melepas kekuatan udaranya, tetapi setiap kali pula Hellcat AL AS selalu berhasil mencegat dan menyergap mereka. Hari itu dari total 373 pesawat yang ditugasi Ozawa menyerang armada AS, hanya 130 yang berhasil kembali ke kapal induknya. Selain itu sekitar 50 pesawat Jepang lainnya yang berpangkalan di Guam juga ditembak jatuh. Sehingga dalam satu hari pertempuran, Jepang kehilangan hampir 300 pesawatnya, suatu kerugian yang amat besar mengingat semakin menipisnya kekuatan udara AL Jepang ketika itu. sedangkan di pihak AS hanya 30 pesawatnya yang jatuh atau hilang. Karena itu pertempuran udara tadi dikenal dengan sebutan "The Great Marianas Turkey Shoot",  seolah-olah semudah berburu dan menembaki ayam kalkun.

Salah satu pemandangan "Turkey shoot" pada peretempuran Mariana 

      Jika di udara pesawat tempur AS berhasil menyikat kekuatan udara Jepang, maka di laut pun kapal selam AS turut beraksi. Kapal-kapal selam ini selalu membayangi armada Ozawa, tetapi dengan pandainya mereka juga selalu mampu menghindari deteksi oleh kapal perang Jepang. Bahkan tatkala memiliki kesempatan yang bagus, merekapun menyerang kapal-kapal induk Jepang dengan torpedo.
      Tak lama setelah kapal-kapal induk Jepang merampungkan pemberangkatan pesawatnya gelombang pertamanya, sekitar pukul 09.05 kapal selam albacore meluncurkan torpedonya. Kapal induk Taiho, yang menjadi kapal bendera Laksamana Ozawa, terkena telak. Kapal induk yang masih baru inipun sempoyongan. Usaha menyelamatkannya gagal, danbeberapa jam kemudian pada sore hari pukul 16.30 kapal inipun karam. Laksamana Ozawa beserta stafnya dengan sekoci penyelamat dipindahkan ke kapal lain. Taiho tenggelam bersama kapal induk Shokaku, yang tengah hari pukul 12.20 juga terkena torpedo kapal selam AS.
      Laksamana Ozawa yang radio komunikasinya bermasalah, masih berpikiran bahwa pesawat-pesawatnya banyak yang tidak kembali ke kapal induk karena mereka mendarat di Guam, guna mengisi kembali bahan bakar.
Ia percaya mereka akan kembali ke pangkalannya semula di kapal induk sesudah menghantam kapal AS. Karena keyakinannya itu, maka ia pun melakukan kekeliruan fatal, yaitu tetap bertahan di perairan tersebut untuk bersiap menyerang lagi armada AS dan menggagalkan invasi musuh terhadap pulau-pulau di Mariana.
      Sebaliknya Laksamana Spruance menyetujui rencana Mitscher untuk menemukan armada Jepang yang sudah banyak kehilangan pesawat terbang, ditambah dua kapal induknya yang karam. Esok harinya pada 20 Juni setelah lewat tengah hari, lokasi armada Jepang diketahui. Segera diputuskan untuk menyerang. Mitscher pun mengirimkan 77 pengebom tukik, 54 pesawat pelontar torpedo, dan 85 pesawat tempur. Ia ingin membereskan armada Ozawa dengan sekali gebuk apabila memungkinkan. Karena itu walau hari sudah menjelang sore, ia tak mau melepaskan kesempatan ini walau ia juga menyadari risiko pesawatnya kemungkinan baru bisa kembali ke kapal induknya ketika hari sudah gelap.
 Pesawat Jepang tengah dikejar dan ditembaki oleh pesawat tempur AS

      Memang benar, gelombang pesawat penyerang ini tiba di sasaran tatkala senja hampir lewat. Ozawa menyambut para tamunya yang tak diundang dengan mencegat mereka di udara. tetapi jumlahnya tidak seimbang, Hellcat pun dengan cepat mengirim 'penyambut' mereka terjun ke laut. Begitu perlawanan Jepang dipatahkan, maka giliran pesawat pengebom  dan torpedo yang beraksi, ditingkahi tembakan anti pesawat dai kapal-kapal perang Jepang. Dalam waktu tidak sampai 30 menit kapal induk Jepang Hiyo menjadi korban, dikirim ke dasar laut oleh dua torpedo yang diluncurkan dari pesawat. Bom-bom pesawat juga merusakkan kapal induk Chiyoda dan Zuikaku, sedangkan dua kapal tanker minyak tenggelam. Kerugian Jepang juga ditambah dengan hilang dan rusaknya lebih 60 pesawat terbangnya. Pihak penyerang kehilangan 20 pesawat dalam serangan malam ini.
      Karena hari sudah malam dan jarak yang harus ditempuh untuk kembali ke kapal induk pun jauh, maka serangan udara malam itu harus diakhiri. Sebab risikonya adalah kehabisan bahan bakar. Mitscher yang memperoleh laporan mengenai hasil pertempuran di perairan Laut Filipina, segera memerintahkan lampu-lampu kapal di armadanya dinyalakan semua untuk memudahkan para pilotnya. Apa yang dilakukan ini juga untung-untungan, sebab jika sampai ada kapal selam Jepang yang beroperasi di perairan ini, maka kapal-kapal tersebut akan menjadi sasaran empuk. Nasib baik bagi Mitscher karena malam itu tak ada kapal selam musuh di perairan tersebut.
      Namun di udara, meskipun memperoleh tuntunan cahaya terang lampu kapal-kapal, banyak pilot yang cemas bahan bakar mereka habis. Padahal mereka sudah pada jarak ancang-ancang untuk mendarat. Akibatnya banyak yang tidak sampai ke kapal karena tercebur ke laut. Seorang pilot yang berhasil mendarat melukiskan bagaimana banyak lampu pesawat yang berkdip-kedip di kegelapan malam, semakin mengarah turun dan turun, untuk akhirnya lenyap ditelan ombak. Pesawat yang mampu mencapai kapal induk pun tidak selalu beruntung, karena dengan tangki bahan bakar yang kering, sejumlah pesawat tak terkendali dan mengalami kecelakaan di geladak. Tak kurang dari 80 pesawat jatuh di laut atau di dek kapal.
      Secara keseluruhan, dalam The Battle of the Philippine Sea (19-20 Juni) yang tak terpisahkan dari operasi perebutan Mariana, pihak AS kehilangan 130 pesawat dan 76 pilot, sedangkan Jepang dari 430 pesawat pada awal pertempuran, tinggal 35 yang masih dapat diterbangkan. Tiga kapal induknya dikirim ke dasar laut bersama dua tanker, dan sejumlah kapal lainnya mengalami kerusakan. Kemenangan jelas berada di pihak Amerika.
Logo "Skor akhir" pertempuran laut Filipina 

      Kekuatan udara terakhir AL Jepang juga dihancurkan dalam pertempuran ini, sehingga tidak pernah lagi memainkan peranan penting dalam berbagai pertempuran selanjutnya.  Laksamana Jisaburo Ozawa mengikuti kekalahannya dan melayarkan sisa armadanya kembali ke Jepang. Kekalahan ini sekaligus juga melenyapkan harapan pertolongan bagi Saipan dan pulau-pulau lainnya di Mariana yang terancam invasi Marinir dan AD Amerika.  

2 komentar: